Selasa, 04 Februari 2014

Makalah Memaksimumkan Laba


MEMAKSIMUMKAN LABA
MAKALAH
Di susun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Ekonomi Mikro
Dosen pengampu : Murtadho Ridwan,Lc,M.Sh




Di susun oleh :
  Layyina Mawarda       : 212 412
 Anisa Naela Sari : 212 413

 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI’AH / MBS
TAHUN 2013

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ekonomi  adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam memilih dan menciptakan kemakmuran. Inti masalah ekonomi adalah adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas. Atau dengan kata lain, problema dasar dari Ekonomi adalah bagaimana menggunakan semua sumber daya yang terbatas, untuk selanjutnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat sebaik-baiknya. Permasalahan itu kemudian menyebabkan kelangkaan, juga menyebabkan beberapa perilaku yang berasal dari produsen dan konsumen.
Salah satu bagian dari pembahasan mikro ekonomi adalah mempermasalahkan kemampuan produsen, pada saat menggunakan sumber daya (input) yang ada untuk menghasilkan atau menyediakan produk yang bernilai maksimal bagi konsumennya.
Laba atau keuntungan adalah nilai penerimaan total perusahaan dikurangi biaya total yang dikeluarkan perusahaan. Jika laba dinotasikan , pendapatan total sebagai TR, dan biaya total adalah TC, maka
= TR - TC
Ada tiga pendekatan penghitungan laba maksimum yang akan dibahas dalam bab ini.
1.      Pendekatan totalitas (totality approach)
2.      Pendekatan rata-rata (average approach)
3.      Pendekatan marjinal (marginal approach)


B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian laba/keuntungan?
2.      Bagaimana pendekatan totalitas itu?
3.      Bagaimana pendekatan rata-rata itu?
4.      Bagaimana pendekatan marginal itu?
C.     Tujuan

1.      Untuk mengetahui pengertian laba/keuntungan
2.      Untuk mengetahui  pendekatan totalitas
3.      Untuk mengetahui pendekatan rata-rata
4.      Untuk mengetahui pendekatan marginal




































BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengartian Laba atau Keuntungan

Makna laba secara umum adalah kenaikan kemakmuaran dalam suatu periode yang dapat dinikmati (didistribusi atau ditarik) asalkan kemakmuran awal masih tetap dipertahankan. Pengertian semacam ini didasarkan pada konsep pemertahanan kapital. Konsep ini membedakan antara laba dan kapital. Kapital bermakna sebagai sediaan (stock) potensi jasa atau kemakmuran sedangkan laba bermakna aliran (flow) kemakmuran. Dengan konsep pemertahanan kapital dapat dibedakan antara kembalian atas investasi dan pengembalian investasi serta antara transaksi operasi dan transaksi pemilik. Lebih lanjut, laba dapat dipandang sebagai perubahan aset bersih sehingga berbagai dasar penilaian kapital dapat diterapkan.

Laba adalah kenaikan modal (aktiva bersih) yang berasal dari transaksi sampingan atau transaksi yang jarang terjadi dari suatu badan usaha, dan dari semua transaksi atau kejadian lain yang mempunyai badan usaha selama satu periode, kecuali yang timbul dari pendapatan (revenue) atau investasi pemilik (Baridwan, 1992: 55).
Pengertian laba secara umum adalah selisih dari pendapatan di atas biaya-biayanya dalam jangka waktu (perioda) tertentu. Laba sering digunakan sebagai suatu dasar untuk pengenaan pajak, kebijakan deviden, pedoman investasi serta pengambilan keputusan dan unsur prediksi (Harnanto, 2003: 444).

Dalam teori ekonomi juga dikenal adanya istilah laba, akan tetapi pengertian laba di dalam teori ekonomi berbeda dengan pengertian laba menurut akuntansi. Dalam teori ekonomi, para ekonom mengartikan laba sebagai suatu kenaikan dalam kekayaan perusahaan, sedangkan dalam akuntansi, laba adalah perbedaan pendapatan yang direalisasi dari transaksi yang terjadi pada waktu dibandingkan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan pada periode tertentu (Harahap, 1997).

Laba atau rugi sering dimanfaatkan sebagai ukuran untuk menilai prestasi perusahaan atau sebagai dasar ukuran penilaian yang lain, seperti laba per lembar saham. Unsur-unsur yang menjadi bagian pembentuk laba adalah pendapatan dan biaya. Dengan mengelompokkan unsur-unsur pendapatan dan biaya, akan dapat diperoleh hasil pengukuran laba yang berbeda antara lain: laba kotor, laba operasional, laba sebelum pajak, dan laba bersih.[1]

B.     Pendekatan Totalitas
Pendekatan totalitas membandingkan pendapatan total (TR) dan biaya total (TC). Pendapatan total adalah sarna dengan jumlah unit output yang terjual (Q) dikalikan harga output per unit. Jika harga jual per unit output adalah P, maka TR = P.Q. Pad a saat membahas teori biaya, kita telah mengetahui bahwa biaya total (TC) adalah sama dengan biaya tetap (FC) ditambah biaya variabel (VC), atau TC = FC + Vc. Dalam pendekatan totalitas, biaya variabel per unit output dianggap konstan, sehingga biaya variabel adalah jumlah unit output (Q) dikalikan biaya variabel per unit. Jika biaya variabel per unit adalah v, maka VC = v.Q. [2]


Dengan demikian,
π= PQ - (FC + vQ) …..  (7.2)

Persamaan (7.2 ) dapat dipresentasikan dalam bentuk Diagram 7.1. Dalam diagram tersebut kita melihat bahwa pad a awalnya perusahaan mengalami kerugian, terlihat dari kurva TR yang masih di bawah kurva TC Tetapi jika output ditambah, kerugian makin kecil, terlihat dari makin mengecilnya jarak kurva TR dengan kurva TC Pada saat jumlah output mencapai Q*, kurva TR berpotongan dengan kurva TC yang artinya pendapatan total sama dengan biaya total. Titik perpotongan ini disebut titik impas (break event point, disingkat BEP). Setelah titik BEP, perusahaan terus mengalami laba yang makin membesar, dilihat dari posisi kurva TR yang di atas kurva TC.

Implikasi dari pendekatan totalitas adalah perusahaan menempuh strategi penjualan maksimum (maximum selling). Sebab makin besar penjualan makin besar laba yang diperoleh. Hanya saja sebelum mengambil keputusan, perusahaan harus menghitung berapa unit output harus diproduksi (Q*) untuk meneapai titik impas. Kemudian besarnya Q* dibandingkan dengan potensi permintaan efektif. Jika persentasenya 80%, maka untuk meneapai BEP perusahaan harus menjangkau 80% potensi perrnintaan efektif. Makin kecil Q* dan atau makin kecil persentase Q* terhadap potensi permintaan efektif dianggap makin baik, sebab risiko yang ditanggung perusahaan makin kecil.

Diagram 7.1

Kurva TR dan Te (Pendekatan Totalitas)



Cara menghitung Q* dapat diturunkan dari Persamaan (7.2).
π = P.Q* - ( FC + v.Q*) ….  (7.3)
Titik impas tercapai pada saat π sama dengan nol.
0 = P.Q*- FC - v.Q*
   = P.Q* - v.Q* - FC
   = (P-v).Q* - FC

Q* =  FC/(P-V) ….. (7.4)

Contoh Kasus:

Emilia adalah seorang dosen di kata Jambi. Sebagai seorang ibu rumah tangga yang kreatH, dia merencanakan menambah penghasilan keluarga dengan menjual jajanan anak-anak berupa permen coklat hasil olahannya sendiri. Produknya dipasarkan ke beberapa sekolah dasar yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Jumlah permintaan potensial (dilihat dari jumlah murid yang diberi uang jajan) adalah 1.000 orang per hari. Untuk mewujudkan rencananya, dia hams membeli alat-alat produksi dan mesin cetak sederhana seharga Rp5 juta. Biaya produksi per biji permen coklat Rp250,00. Harga jual per biji Rp500,00.
Apakah rencana di atas layak dilaksanakan? Untuk menjawabnya, kita dapat menggunakan rumus dalam Persamaan (7.4).
Biaya pembelian alat produksi dan mesin cetak sederhana adalah biaya tetap (FC), karena besarnya tidak tergantung jumlah produksi. Biaya variabel per unit (v) adalah Rp250,00 sedangkan harga jual per unit (P) adalah Rp500,00 Untuk mencapai titik impas, jumlah output (permen coklat) yang harus terjual (Q*) adalah:
Q* = 5.000.000 / (500-250) = 20.000 biji permen.
Untuk mencapai titik impas, permen coklat yang harus terjual 20.000 biji. Apakah target ini terlalu berat? Sangat tergantung dari optimisme Ibu Emilia. Jika dia bersikap pesimis, misalnya dengan mengatakan hanya sekitar 10% dari permintaan potensial yang terjangkau, berarti setiap hari hanya dapat menjual 100 permen. Sehingga 20.000 biji permen akan terjual dalam waktu 200 hari. Tetapi bila dia yakin minimal 50% potensi pasar terjangkau atau 500 biji permen coklat per hari, 20.000 biji permen akan terjual hanya dalam waktu 40 hari. Setelah 20.000 biji permen, penjualan selanjutnya memberi keuntungan Rp250,00 per biji, karena itu makin banyak permen yang dapat dijual, makin besar laba yang diperoleh.

Pendekatan totalitas sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari, karena memang mudah dan sederhana. Namun cara ini memiliki beberapa kelemahan:
a)  Dalam praktik sulit membedakan antara biaya tetap dengan biaya variabel. Misalnya listrik yang digunakan perusahaan ada yang untuk pabrik (dapat menjadi biaya variabel); ada yang untuk kantor (dapat menjadi biaya tetap). Atau seorang pegawai dalam perusahaan, terutama perusahaan keluarga, sering bekerja rangkap untuk kegiatan administratif (biaya tetap) dan produksi (biaya variabel).
b) Pendekatan ini mengabaikan gejala penurunan pertambahan hasil (LDR), yang menyebabkan baik kurva biaya maupun kurva pendapatan tidak berbentuk garis lurus (lihat kembali Bab 5 dan Bab 6. Karena itu pendekatan totalitas hanya dapat dipakai bila usaha yang dianalisis relatif sederhana, dengan skala produksi tidak besar (massal).

C. Pendekatan Rata-rata
Dalam pendekatan ini, perhitungan laba per unit dilakukan dengan membandingkan antara biaya produksi rata-rata (AC) dengan harga jual output (P). Laba total adalah laba per unit dikalikan dengan jumlah output yang terjual.

π= (P - AC).Q ….. (7.5)

Dari persamaan ini perusahaan akan mencapai laba bila harga jual per unit output (P) lebih tinggi dari biaya rata-rata (AC). Perusahaan hanya mencapai angka impas bila P sarna dengan AC.

Keputusan untuk memproduksi atau tidak didasarkan perbandingan besamya P dengan AC. Bila P lebih kedl atau sarna dengan AC, perusahaan tidak mau memproduksi. Implikasi pendekatan rata-rata adalah perusahaan atau unit usaha harus menjual sebanyak-banyaknya (maximum selling) agar laba (1t) makin besar.

Contoh Kasus:
PT Tani Makmur ingin menanam singkong di Lampung. Produk singkong akan dibeli di lahan oleh produsen tapioka seharga Rp150,00 per kilogram. Setiap hektar diperkirakan menghasilkan singkong minimal 25 ton. Berdasarkan studi pendahuluan, biaya produksi seperti di bawah ini:
a. Biaya persiapan lahan: Rp500.000,00 per hektar.
b. Biaya penanaman dan perawatan (termasuk pupuk dan obat-obatan) serta tenaga kerja: Rp1.000.000,00 per hektar.
c. Biaya panen (pencabutan, pemotongan): Rp.10,00 per kg.
Jika perusahaan menargetkan keuntungan sebesar Rp 1.000.000.000,00 pada musim tanam mendatang, berapa hektar singkong yang harus ditanam?
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menghitung biaya rata-rata per kilogram singkong, sampai siap dijual di lahan. Karena yang sudah ketahui hanya biaya panen per kg, kita harus menghitung biaya rata-rata : kilogram persiapan lahan dan penanaman. Dari data-data di atas diketahui bahwa biaya persiapan lahan, penanaman dan perawatan adalah Rp. 1.500.000,00 per hektar. Jika per hektar lahan menghasilkan 25 ton singkong, maka biaya rata-rata persiapan, penanaman dan perawatan adalah Rp.60,00 per kilogram. Sehingga biaya rata-rata per kilogram (AC) adalah Rp.60,00 + Rpl0,00 sama dengan Rp70,00.
Karena harga jual singkong (P) adalah Rp150,00 per kilogram, maka
π                      = (P - AC ).Q (7.6)
1.000.000.000 = (150 - 70).Q
Q                     = (1.000.000.000: 80) kg
                        = 12.500.000 kg
                        = 12.500 ton
Jumlah singkong yang harus dihasilkan untuk mencapai laba Rpl miliar adalah 12.500 ton. Karena per hektar menghasilkan 25 ton, maka jumlah yang harus ditanam adalah 500 hektar.
Sama halnya dengan pendekatan totalitas, pendekatan rata-rata juga banyak dipakai karena sederhana. Namun pendekatan ini pun mengabaikan gejala penurunan pertambahan hasil (LDR). Contoh di atas, menunjukkan bahwa perhitungan AC berdasarkan skala produksi satu hektar. Padahal banyak perbedaan mendasar antara memproduksi satu hektar dengan 500 hektar. Pada skala produksi satu hektar atau barangkali sampai sepuluh hektar, perusahaan tidak mengalami masalah-masalah berarti dikaitkan dengan kebutuhan SDM, teknologi produksi maupun manajemen. Dalam arti kualitas SDM yang dibutuhkan tidak perlu tinggi, lahan bisa dikelola dengan eknologi sederhana dan pengelolaan usaha cukup dengan manajemen keluarga.
Tetapi jika skala produksi ditingkatkan sampai 500 hektar, pengolahan tanah hams menggunakan peralatan modem, perusahaan membutuhkan insinyur dan tenaga keuangan yang mampu mengelola usaha bernilai ratusan juta atau miliaran rupiah. Jika perusahaan harus menggunakan kredit sebagai sumber pendanaan, maka organisasi perusahaan harus bersifat formal. Dengan kata lain jenis dan kompleksitas kegiatan maupun pembiayaan makin banyak dan meningkat, jika skala produksi ditambah. Karena itu perhitungan AC yang akurat seharusnya dalam skala produksi 500 hektar. Angka biaya rata-rata (AC) pada skala produksi 500 hektar bisa lebih besar atau lebih kecil dari AC pada skala produksi satu hektar. Jika perusahaan menikmati skala produksi ekonomis (economies of scale), maka biaya rata-rata ( AC ) akan lebih kedl dari Rp70,00 per kg (AC pada skala produksi satu hektar). Begitu juga sebaliknya.
C.     Pendekatan Marginal
Dalam pendekatan marjinal, perhitungan laba dilakukan dengan membandingkan biaya marjinal (MC) dan pendapatan marjinal (MR). Laba maksimum akan tercapai pada saat MR = Me. Kondisi tersebut bisa dijelaskan secara matematis, gratis dan verbal.

a.      Penjelasan Secara Matematis

π= TR – TC ….. (7.7)
Laba maksimum tercapai bila turunan pertama fungsi π (∂n / ∂Q) sama dengan nol dan nilainya sama dengan nilai turunan pertama TR (OTRI aQ atau MR) dikurangi nilai turunan pertama TC (∂TC / ∂Q atau MC).
∂π/∂Q = ∂TR/∂Q - ∂TC/∂Q = 0
= MR-MC = 0
 b. Penjelasan Secara Grafis
Di pembahasan teori biaya produksi, kita telah mengonstruksi kurva biaya total (TC) yang bentuk kurvanya seperti huruf S terbalik. Kurva pendapatan total (TR) diperoleh dengan cara mengalikan kurva produksi total (TP) dengan harga jual output per unit (P). Pada pembahasan teori produksi, telah diketahui bahwa kurva TP berbentuk huruf S. Karena kurva TR diperoleh dengan cara mengalikan kurva TP dengan sebuah bilangan sebesar nilai P, maka kurva TR juga berbentuk huruf S. Kurva TR dikurangi kurva TC menghasilkan kurva laba (π) seperti tampak pada Diagram 7.2 berikut ini.


Diagram 7.2
Kurva TR, TC dan Laba (Pendekatan Marjinal)
Pada Diagram 7.2 kita melihat bahwa tingkat output yang memberikan laba adalah interval Q1-Q5 Jika output di bawah jumlah Q1 perusahaan mengalami kerugian karena TR < TC Begitu juga jika jumlah output melebihi Q5 Interval Q1-Q5 dalam pembahasan teori produksi disebut sebagai daerah produksi ekonomis (tahap II). Perusahaan akan mencapai laba maksimum di salah satu titik antara Q1-Q5 Dalam Diagram 7.2 terlihat bahwa laba maksimum tercapai jika tingkat produksinya adalah Q3 Secara grafis hal itu terlihat dari kurva π yang mencapai nilai maksimum pada saat output sebesar Q3
Pada pembuktian secara materna tis telah diketahui bahwa nilai π (laba) akan maksimum bila MR = MC Dalam grafis kondisi itu terbukti dengan membandingkan dua garis singgung b1 dan b2. Garis singgung b1 adalah turunan pertama fungsi TR atau sarna dengan MR. Garis singgung b2 adalah turunan pertama fungsi TC atau sama dengan MC Kita melihat garis singgung b1 sejajar garis singgung b2 yang artinya MR = MC
c. Penjelasan Secara Verbal
Apakah benar perusahaan akan mencapai laba maksimum bila memproduksi di Q3? Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita mengonsentrasikan diri pada pergerakan kurva lab a (n) sepanjang interval Q1-Q5' Pergerakan tersebut kita bagi menjadi tiga sub-interval: Q1-Q3' Q3' dan Q3-Q5'
1) Penambahan output sepanjang sub-interval Q1-Q3
Ketika output ditambah dari Q1 ke Q2 kurva  bergerak naik yang artinya laba bertambah besar. Bila memperhatikan kurva TR dan TC, terlihat bahwa sudut kecuraman garis singgung al (MR) lebih besar dari sudut kecuraman garis singgung a2 (MC). Ternyata jika output ditambah satu unit, tambahan pendapatan (MR) yang dihasilkan lebih besar dari tambahan biaya (MC) yang harus dikeluarkan. Karena itu akan lebih menguntungkan bila perusahaan terus menambah output. Dengan cara penjelasan yang sama dapat dipahami mengapa kurva π bergerak naik sampai jumlah output Q3 Kalau kita melihat sudut kemiringan kurva π makin mendatar, hal itu menunjukkan terjadinya hukum pertambahan hasil yang makin menurun (LDR).
2) Pada saat jumlah output Q3
Pada saat jumlah output Q3 seperti telah dijelaskan, garis singgung bl (MR) sejajar garis singgung b2 (MC). Jika output ditambah satu unit, maka tambahan pendapatan (MR) yang diperoleh sama persis dengan tambahan biaya (MC) yang harus dikeluarkan.
3) Interval Q3-05
Jika output ditambah dari Q3 ke Q4 terlihat bahwa sudut kemiringan garis singgung c1 (MR) sudah lebih kecil dari sudut kemiringan garis singgung c2 (MC). Artinya jika output ditambah satu unit, tambahan pendapatan (MR) yang diperoleh lebih kecil dibanding tambahan biaya (MC). Dalam kondisi seperti itu perusahaan akan merugi bila terus menambah output. Terlihat dari gerak menurun kurva π.

Dengan demikian, tingkat output yang membuat perusahaan mencapai laba maksimum adalah Q3'
Penjelasan di atas dapat diringkas dengan menyatakan:
1. Pada interval Q1-Q3 MR > MC. Karenanya penambahan output akan meningkatkan laba.
2. Pada interval Q3-Q5 MR < MC. Karenanya penambahan output akan menurunkan laba.
3. Pada saat output adalah Q3, MR = MC. Perusahaan mencapai laba maksimum. [3]














BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
Laba adalah kenaikan modal (aktiva bersih) yang berasal dari transaksi sampingan atau transaksi yang jarang terjadi dari suatu badan usaha, dan dari semua transaksi atau kejadian lain yang mempunyai badan usaha selama satu periode, kecuali yang timbul dari pendapatan (revenue) atau investasi pemilik.
Pendekatan totalitas membandingkan pendapatan total (TR) dan biaya total (TC). Jika harga jual per unit output (P) dan jumlah unit output yang terjual (Q), maka TR = P.Q. Biaya total adalah jumlah biaya tetap (FC) ditambah biaya variable per unit(v) dikali biaya variable per unit, sehingga:
π = P.Q – (FC + v.Q)
Implikasi dari pendekatan totalitas adalah perusahaan menempuh strategi penjualan maksimum (maximum selling). Sebab semakin besar penjualan makin besar laba yang diperoleh. Hanya saja sebelum mengambil keputusan, perusahaan harus menghitung berapa unit output yang harus diproduksi untuk mencapai titik impas. Kemudian besarnya output tadi dibandingkan dengan potensi permintaan efektif
.

Dalam pendekatan rata-rata perhitungan laba per unit dilakukan dengan membandingkan antara biaya produksi rata-rata (AC) dengan harga jual output (P) kemudian laba total dihitung dari laba per unit dikali dengan jumlah output yang terjual.
π = (P - AC).Q
Dari persamaan ini, perusahaan akan mencapai laba bila harga jual per unit output (P) lebih tinggi dari biaya rata-rata (AC). Perusahaan akan mencapai angka impas bila P sama dengan AC.
Keputusan untuk memproduksi atau tidak didasarkan perbandingan besarnya P dengan AC. Bila P lebih kecil atau sama dengan AC, perusahaan tidak mau memproduksi. Implikasi pendekatan rata-rata adalah perusahaan atau unit usaha harus menjual sebanyak-banyaknya (maximum selling) agar laba (π) makin besar.
Perhitungan laba dilakukan dengan membandingkan biaya marginal (MC) dan pendapatan marginal (MR). Laba maksimum akan tercapai pada saat MR = MC.
π = TR – TC
Laba maksimum tercapai bila turunan pertama fungsi π(δ π /δQ) sama dengan nol dan nilainya sama dengan nilai turunan pertama TR (δTR/ δQ atau MR) dikurangi nilai turunan pertama TC (δTC/ δQ atau MC). Sehingga MR – MC = 0. Dengan demikian, perusahaan akan memperoleh laba maksimum (atau kerugian minimum) bila ia berproduksi pada tingkat output di mana MR = MC.























BAB IV
DAFTAR PUSTAKA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar